JATIMPOS.CO//SURABAYA- Menjelang Pemilu 2024, The Republic Institute sebagai lembaga riset menemukan sebuah fakta perubahan politik yang nyata akan pilihan masyarakat Indonesia, yang semakin hari menunjukkan perkembangan yang cukup mengkhawatirkan terkait bagaimana pemahaman masyarakat pada keberadaan partai politik sebagai lembaga yang konstitusional.

Hasil survei oleh : Dr. Sufyanto, Peneliti Utama The Republic Institute; dan dosen Politik Politik Univ. Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) yang dikirim ke jatimpos.co, Minggu (2/1/2022) menyebutkan, “Partai Politik No, Aktor Politik Yes”. Inilah gambaran nyata kerapuhan institusi partai politik dan menguatnya preferensi aktor politik menjelang pemilu 2024 di mata pemilih sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam hal kedaulatan.

Data yang dimiliki oleh The Republic Institute menunjukkan adanya penurunan pilihan masyarakat terhadap bendera atau gambar partai politik dan peningkatan pilihan terhadap aktor politik atau yang biasa disebut caleg. Sehingga demokrasi melalui Pemilu semakin didominasi oleh individu-individu aktor politik, sebaliknya eksistensi partai politik semakin rapuh.

Berdasarkan data hasil Pemilu 2019 yang lalu, dari semua partai politik (parpol) yang memenuhi ambang batas Parliamentary Threshold, tidak ada parpol yang benar-benar menjadi harapan pemilih dilihat dari pilihan gambar parpolnya. Dari 9 Partai politik mayoritas memilih Caleg-nya, sementara pilihan ke gambar partai sangat kecil hanya direntang 13 % sampai 29% saja.

Sebagaimana dapat diuraikan berikut: PKB (Gambar partai 26,29% dan Caleg 73,71%), Gerindra (Gambar Partai 29,46% dan Caleg 70,54%), PDIP (Gambar Partai 26,57% dan Caleg 73,43%), Golkar (Gambar Partai 19,66% dan Caleg 80,34%), NasDem (Gambar Partai 13,59% dan Caleg 86,41%), PKS (Gambar Partai 28,18% dan Caleg 73,82%), PPP (Gambar Partai 23,92% dan Caleg 76,08%), PAN (Gambar Partai 17,22% dan Caleg 82,76%), dan Demokrat (Gambar Partai 20,70% dan Caleg 79,30%).

Walaupun sesuai regulasi, partai politik merupakan pemegang fungsi yang sangat strategis dalam memaknai proses pemilu sebagai roh demokrasi. Sebagaimana dijelaskan melalui amanat konstitusional yang sangat mulya itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, dijelaskan oleh Pasal 11 ayat (1).

Partai Politik berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Akan tetapi, setelah membaca data di atas, preferensi masyarakat terhadap partai politik semakin mengecil. Hal ini membuat posisi partai politik semakin rapuh dalam proses demokrastisasi yang terus berkembang di Indonesia. Sementara itu, di posisi yang lain pilihan kepada aktor politik sebagai individu-individu semakin besar.

Atas fenomena inilah The Republic Institute penting mendalami fenomena ini agar dapat merekomendasikan temuannya kepada partai politik dan masyarakat secara luas gambaran voting behavior masyarakat menjelang Pemilu 2024 mendatang.

Sebab, kami dari The Republic Institute ingin berpartisipasi publik sekaligus memberikan pendidikan politik kebangsaan, dalam memaknai proses demokrasi. Bukan dengan cara pelibatan politik praktis, akan tetapi The Republic Institute memilih jalan dengan cara kerja-kerja ilmiah dan akademik, yakni dengan melakukan penelitian dan pengkajian, yang temuan-temuannya dipublis secara luas sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kerangka pendidikan politik kewarganegaraan.

Pada tema ini, jenis metode penelitian yang digunakan The Republic Institute adalah Survey by Telephone, dengan margin of errors sebesar 3,8 %, jumlah sampel keseluruhan sebanyak 1225 responden tersebar di 34 Provinsi di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dari jumlah sampel tersebut kemudian diturunkan ke Provinsi, ke tingkat Kabupaten/Kota, lalu ke tingkat Kecamatan, dilanjutkan ke tingkat Desa lalu diturunkan ke tingkat RT, Rumah dan menentukan subjek/responden penelitiannya. Proses pengambilan sampel (wawancara) dilakukan pada tanggal 11-21 Desember 2021.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan multistage sampling dan purposive sampling. Multistage Sampling yaitu metode pengambilan sampel berdasarkan wilayah provinsi, kabupaten, dan kecamatan, serta desa, dimana sampel tingkat Nasional kemudian diturunkan ke sampel tingkat Provinsi ke tingkat Kabupaten/Kota, lalu ke tingkat Kecamatan, dilanjutkan ke tingkat Desa lalu diturunkan ke tingkat RT, Rumah dan menentukan subjek penelitiannya, sedangkan Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan kriteria tertentu, adapun kriteria sampel dalam penelitian ini antara lain: Responden telah mempunyai telepon seluler. Usia responden di atas 17 tahun. Bersedia menjadi responden dalam penelitian.


Berdasarkan data temuan dari hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, konstituen Partai Politik yang melenggang ke Senayan karena telah memenuhi ambang batas Parliamentary Threshold, memiliki kecenderungan pilihan pada aktor politik daripada gambar partai politik.

Pilihan terhadap gambar partai politik semakin terlihat menurun dan pilihan ke aktor politik/caleg semakin meningkat. Sementara itu, partai politik non-parlemen atau partai politik baru, kecenderungan pilihan konstituen terhadap gambar partai politik cenderung tinggi karena memang nama/gambar partai politik lebih dikenal. Sementara itu pilihan ke aktor politik cenderung kecil karena dari nama-nama aktor politik non-parlemen tersebut memang tidak banyak dikenal oleh pemilih.

Kedua, bagi Partai Politik Senayan bila dibandingkan dengan hasil Pemilu 2019 lalu, kecenderungan pilihan ke gambar partai semakin menurun di rentang 3% sd 7%, sementara itu hanya ada 1 partai politik yang pilihan gambarnya naik 1,23% saja. Sebagaimana data riset berikut: PKB: Gambar partai 22,78%; Caleg 58,91%; belum menentukan 18,31% (Penurunan pemilih gambar partai PKB sebesar 3,51%), Gerindra: Gambar Partai 24,54%; Caleg 57,74%; belum menentukan 17,72% (Penurunan pemilih gambar partai Gerindra sebesar 4,92%), PDIP: Gambar Partai 22,56%; Caleg 58,63%; belum menentukan 18,81% (Penurunan pemilih gambar partai PDIP sebesar 4,01%), Golkar: Gambar Partai 16,18%: Caleg 65,54%; belum menentukan 18,28% (Penurunan pemilih gambar partai Golkar sebesar 3,48%), NasDem: Gambar Partai 14,80%; Caleg 71,61%; belum menentukan 13,58 (Peningkatan pemilih gambar partai Nasdem sebesar 1,21%), PKS: Gambar Partai 18,27%; Caleg 59,02%; belum menentukan 22,71% (Penurunan pemilih gambar partai PKS sebesar 7,91%), PPP: Gambar Partai 17,02%; Caleg 61,28%; belum menentukan 21,70% (Penurunan pemilih gambar partai PPP sebesar 6,90%), PAN: Gambar Partai 14,71%; Caleg 67,98%; belum menentukan 17,31% (Penurunan pemilih gambar partai PAN sebesar 2,51%), dan Demokrat: Gambar Partai 17,96%; Caleg 64,50%; belum menentukan 17,54% (Penurunan pemilih gambar partai Demokrat sebesar 2,74%).

Lalu apa yang menyebabkan perubahan pilihan itu?, berdasarkan riset tersebut The Republic Institute menemukan beberapa faktor pendorong yakni;

Pertama, ada perubahan media habbit masyarakat (sebagaimana dalam Tabel 3), dalam wujud sumber untuk memperoleh informasi politik yang bergeser dari pencarian informasi melalui media konvensional ke new media yaitu media sosial (sebagaimana Tabel 4). Sehingga masyarakat lebih mudah mendapatkan akses informasi tentang aktor politik yang sedang berkontestasi sebagai calon anggota legislative (Caleg), dibanding dengan informasi institusi partai politik sebagai peserta pemilu.

Sekalipun kepemilikan alat komunikasi dan informasi masyarakat terbanyak adalah Televisi yaitu sebesar 99,2%, tetapi masyarakat yang menggunakan televisi sebagai rujukan untuk mendapatkan informasi hanyalah sebesar 42,6% saja. Berbeda dengan Televisi, media yang tersambung ke dalam jaringan internet meskipun persentase kepemilikan atas akses media tersebut lebih sedikit yaitu sebesar 89,4%, namun kepercayaan maupun intensitas masyarakat dalam mendapatkan informasi dari media internet lebih besar sebanyak 55,6%. Disusul selanjutnya oleh Radio, Koran, dan Majalah, namun prosentasenya sangat kecil sesuai table 3 di bawah ini.

Mengapa orang sangat tinggi di dalam kepercayaan pilihannya kepada jejaring internet, karena memang didukung oleh semakin terkoneksinya responden dengan teknologi komunikasi media sosial. Sehingga hampir semua platform media sosial digunakannya sebagaimana temuan riset berikut: facebook (kepemilikan akun 69,3%, keaktifan 16,2%); Twiter (Kepemilikan akun 11,2%, keaktifan 1,2%); Instagram (Kepemilikan akun 45,8%; keaktifan 6,2%); Whatsapp (kepemilikan akun 88,2%, keaktifan 62,3%); Telegram (kepemilikan akun 13,4%, keaktifan 0,1%); Youtube (Kepemilikan akun 65,2%, keaktifan 5,2%); dan TikTok (kepemilikan akun 24,3%, keaktifan 8,7%)

Oleh karena itu, membesarnya preferensi aktor politik dalam Pemilu, sumbangsih terbesarnya adalah media sosial secara khusus Whatsapp, karena menjadi platform yang hampir semua orang terhubung dengan jaringan teknologi komunikasi tersebut (sebagaimana table 4).

Media sosial adalah media yang apabila dilihat dalam perspektif studi marketing politik, menjadi media yang mampu menembus micromarketing, yakni menjadi media yang dapat menembus langsung ke setiap personal yang terhubung dengan teknologi komunikasi. Tidak terikat oleh waktu dan dimana tempatnya. Sepanjang terhubung dengan saluran internet maka informasi personal branding itu akan sampai kepada target marketingnya. Sehingga menjadi niscaya personal branding aktor politik semakin mudah dilakukan, sementara itu branding terhadap partai politik semakin susah dilakukan karena setiap aktor politik sibuk dengan dirinya dan lupa akan rumah besarnya yakni Partai Politik.

Kedua, preferensi pilihan akan ketokohan, kepribadian, dan kualitas calon masih sangat tinggi dalam pertimbangan memilih pemimpin. Oleh karena itu, dengan system pemilu proporsional terbuka yang mana aktor politik/Caleg dinilai elektoralnya lebih utama, maka faktor ini kemudian yang menutup ruang keterpilihan kepada partai politik. Sebagaimana temuan risetnya adalah ketokohan/kepribadian 24,3%, Kualitas calon 18,4%, imbalan materi 16,4%, program yang ditawarkan 8,5%, isu yang diangkat 7%, fatwa ulama 6,6%, kesamaan agama 5%, kesamaan parpol 1,8%, ikut keluarga 1,6%, kesamaan ormas 1,5%, kesukuan 1,5%, ikut teman 1,3%, selebihnya 8,8% tidak menjawab Sehingga pemilih mensandarkan pilihannya kepada aktor-individu bukan lagi karena kedekatan idiologis dengan partai politik

Ketiga, pergeseran pilihan masyarakat dari pertimbangan pilihan karena kesamaan maupun kedekatan idiologi, bergeser ke pragmatisme disebabkan imbalan dalam proses kompetisi politik; para responden yang merupakan pemilih dalam pemilu 2024 mendatang bila Pemilu dilangsungkan sekarang, maka yang berharap mendapat imbalan sebesar 71%; tidak berharap imbalan 13,3%, dan yang belum tahu 15,7%

Melihat data ini, memang semakin permisif imbalan dalam Pemilu, masyarakat tidak lagi memaknainya sebagai kejahatan dalam Pemilu, yang kemudian dirumuskan oleh penyusun regulasi sebagai aspek kejahatan yang harus dicegah dan ditindak oleh Pengawas Pemilu. Namun, responden riset ini menyebut imbalan dalam pemilu sebagai bentuk empati antara orang yang dipilih kepada orang yang memilihnya, Sederhanyanya ini dapat digambarkan dalam bentuk pertukaran politik (political exchange), dimana pemilih memiliki otoritas suara pilihan yang akan diberikan kepada aktor politik yang dipilih, selanjutnya aktor yang dipilih akan mendapatkan otoritas untuk mewakilinya di Parlemen.

Banyak politisi menuduh dengan menyalahkan persoalan ini, karena masyarakat sudah sangat pragmatis. Akan tetapi bila dilihat dari perspektif Pemilih atau yang biasa disebut rakyat, politisilah yang datang menawarinya imbalan-imbalan itu.

Namun, The Republic Institute menemukan fakta baru bahwa pergeseran Pemilu semakin pragmatis bukan lagi disebabkan oleh rakyat/pemilih yang pragmatis ataupun politisi yang pragmatis. Akan tetapi ada aktor-aktor seperti agen politik yang melakukan proses agency, dengan mendorong Politik semakin pragmatis dan kapitalis. Siapa aktor-aktor agency politik itu, yakni ada yang disebut Botoh di seputaran Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menjadikan politik berbiaya tinggi karena dijadikan ajang perjudian. Atau bentuk lain seperti Bohir, Cukong atau nama-nama lain yang mana dengan kekuatan kapital mengontrol jalannya kekuasaan dimulai dari hulu, yakni di saat proses kompetisi politik untuk memperebutkan kekuasaan itu. Bukan lagi di hilir ketika kekuasaan itu sudah terbentuk. (*)