JATIMPOS.CO/SURABAYA – Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur menegaskan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Jatim 2026 tidak boleh berhenti sebagai dokumen teknokratis, tetapi harus menjadi instrumen politik keberpihakan kepada rakyat kecil.
Hal itu disampaikan Juru Bicara Fraksi PDI Perjuangan, Y. Ristu Nugroho, dalam rapat paripurna penyampaian Pendapat Akhir Fraksi atas Raperda APBD 2026, Sabtu (15/11/2025).
Menurut Ristu, APBD 2026 disusun dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian dengan ruang fiskal yang semakin sempit. Karena itu, APBD harus diarahkan untuk memperkuat ekonomi rakyat, menekan kemiskinan, memperluas lapangan kerja, serta memastikan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Jawa Timur.
Fraksi PDIP juga menyoroti penurunan pendapatan yang sangat signifikan. Pendapatan daerah 2026 dipatok sebesar Rp26,30 triliun, atau turun Rp1,96 triliun (minus 6,94 persen) dari usulan awal dan merosot sekitar Rp9,17 triliun dibanding realisasi 2024.
Penurunan terbesar berasal dari Transfer ke Daerah (TKD) yang anjlok 24 persen akibat kebijakan konsolidasi fiskal pemerintah pusat.
“Ini sinyal serius bagi keberlanjutan fiskal Jatim. Tingginya ketergantungan pada pusat menunjukkan lemahnya kemandirian daerah,” tegas Ristu.
Ia menambahkan, pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya naik 2 persen dinilai masih jauh dari potensi ekonomi Jawa Timur.
Fraksi PDIP juga memberikan perhatian tajam terhadap kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Kontribusi dividen BUMD dinilai stagnan, sementara beban operasional terus meningkat.
Karenanya, Fraksi PDIP mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap BUMD, penyusunan masterplan bisnis yang selaras dengan arah pembangunan daerah, peningkatan profesionalisme dan transparansi, serta penguatan akuntabilitas sosial.
“BUMD tidak boleh hidup dari rente aset. BUMD harus menghasilkan nilai tambah untuk rakyat dan memperkuat kemandirian fiskal daerah,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Fraksi PDIP menilai struktur PAD yang 76 percent masih bersumber dari pajak daerah terlalu bergantung pada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), pajak konsumtif yang relatif banyak ditanggung rakyat kecil.
Karena itu, Fraksi PDIP mendorong reformasi pajak progresif, pemberian insentif bagi UMKM, petani dan koperasi, serta perluasan basis pajak ke sektor hijau, energi terbarukan, dan ekonomi digital.
Di samping itu, tambah Ristu, Fraksi PDIP juga mendukung perjuangan peningkatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dari 3 persen menjadi 5 persen, mengingat kontribusi Jawa Timur terhadap penerimaan nasional dari sektor ini sangat besar.
APBD 2026 mencatat belanja daerah sebesar Rp27,22 triliun, turun 17,5 persen dari tahun sebelumnya. Namun, belanja modal hanya 5 persen, sementara belanja operasi mencapai 75 persen. Fraksi menyebut kondisi ini sebagai ketidakseimbangan serius.
“Meski begitu, efisiensi yang dilakukan bukan sekadar menghemat. Efisiensi berarti memastikan setiap rupiah memberi manfaat bagi rakyat,” ujar Ristu.
Fraksi PDIP juga menyoroti defisit APBD 2026 sebesar Rp916,73 miliar yang ditutup melalui Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Posisi SiLPA yang mencapai Rp7,28 triliun dinilai sebagai bukti lemahnya serapan anggaran dan kurang tepatnya perencanaan.
Fraksi PDIP, jelas Ristu, mengajukan 14 pertanyaan strategis dalam Pandangan Umum Fraksi. Namun, eksekutif hanya menjawab 12 pertanyaan. Fraksi menilai jawaban gubernur masih bersifat administratif dan belum menyentuh persoalan struktural.
Beberapa isu yang dinilai belum dijawab secara substansial antara lain peta jalan kemandirian fiskal Jatim, reformasi menyeluruh BUMD, strategi menekan belanja konsumtif, upaya mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah, serta pembenahan serapan anggaran di Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Terakhir, politikus asal Madiun itu menegaskan harapan Fraksi PDIP agar APBD 2026 benar-benar menjadi “anggaran gotong royong” yang berpijak pada nilai keberpihakan, transparansi, dan akuntabilitas politik.
“Dalam semangat Trisakti Bung Karno, kemandirian fiskal hanya bisa dibangun melalui keberanian memperkuat produktivitas rakyat,” tegasnya. (zen)