JATIMPOS.CO/SURABAYA — Wakil Ketua Komisi D DPRD Jawa Timur, H. Ahmad Tamim, S.H.I., M.H., menegaskan negara perlu hadir pasca insiden di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo.

Ia menekankan kehadiran itu bersifat penyangga, tidak mengambil alih kemandirian pesantren.

“Negara harus hadir. Musibah itu akan membawa berkah buat kemajuan bersama, buat evaluasi bersama. Buat muhasabah. Muhasabah itu evaluasi diri. Pesantren juga pasti evaluasi,” ujarnya saat dikonfirmasi di Surabaya, Jumat (10/10/2025).

Gus Tamim menegaskan DNA pesantren sejak dulu adalah dari–oleh–untuk masyarakat. Kemandirian dinilai melekat dan perlu dirawat.

“Jadi pesantren ini kan dibangun oleh masyarakat, dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat, sehingga pesantren itu mandiri dan berdikari,” kata Gus Tamim.

“Bahkan banyak pesantren yang tidak sekedar mandiri tapi sudah berdikari seperti pondok Lirboyo, pondok Sidogiri, pondok-pondok yang usianya sudah ratusan tahun itu adalah berdikari,” lanjutnya.

Ia mengingatkan, urusan keselamatan bangunan tidak bisa ditawar. Rekonstruksi harus ditangani profesional. Menurutnya, negara boleh dan perlu membantu, namun dalam peran penopang standar dan keselamatan.

“Yang namanya pembangunan infrastruktur itu adalah harus diserahkan kepada ahlinya. Ahlinya tentu adalah teknik sipil, seorang insinyur yang punya kompeten di bidang itu,” tegasnya.

“Nah, tentu pondok pesantren barangkali teledor karena dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat, bentuknya adalah donasi dan amal jariyah. Sehingga tentang rekonstruksi pembangunannya tentu perlu untuk kemudian negara hadir memberikan supporting system,” imbuhnya.

Seperti diketahui, wacana dukungan APBN untuk perbaikan bangunan Ponpes Al Khoziny masih dalam pembahasan. Skema itu, menurut Gus Tamim, idealnya menopang standar keselamatan, sementara kemandirian pesantren tetap dijaga.

“Kalau kemandiriannya menurut saya malah justru harus diabadikan itu dari masyarakat oleh masyarakat untuk masyarakat. Tapi negara hadir atas nama perlindungan supporting system itu adalah bagian daripada kewajiban yang negara harus bisa hadir,” jelasnya.

Ia juga menyinggung perizinan bangunan yang kerap dirasa mahal dan rumit. Menurutnya, pesantren tua—termasuk Al Khoziny—layak mendapat afirmasi prosedural.

“IMB yang semahal itu dan serumit itu, kita sebagai negara juga perlu berbenah,” tuturnya.

Menjawab kekhawatiran soal “kesempatan” bagi lembaga lain jika negara membantu, ia menolak anggapan itu.

“Jangan kemudian dan ini dianggap kesempatan. Pesantren nggak ingin yang namanya kesempatan. Biarlah semuanya berjalan dengan alami,” tegasnya.

“Tetapi kalau negara hadir, saya kira itu bagian daripada sinergi yang positif, kolaborasi yang baik antara pesantren dengan negara. Di mana pesantren adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang itu juga termaktub dalam tujuan kita berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.(zen)