JATIMPOS.CO/SURABAYA - Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, Sri Untari Bisowarno, langsung bergerak cepat menanggapi laporan adanya siswa yang mengundurkan diri dari program Sekolah Rakyat di beberapa daerah, termasuk di Jember yang mencatat 20 siswa keluar dari program tersebut.
Sri Untari menyampaikan keterkejutannya saat mengetahui data pengunduran diri tersebut. Ia segera berkoordinasi dengan Kepala Dinas Sosial Jatim Dra. Restu Novi Widiani untuk menindaklanjuti situasi ini.
“Minta datanya, karena kemarin waktu saya ke sana, mereka suka banget,” ujar Untari di Surabaya, Senin (4/8/2025), mengacu pada kunjungannya ke Sekolah Rakyat di Malang.
Dalam kunjungan tersebut, Untari menyebut siswa, orang tua, dan guru tampak antusias mengikuti program.
“Saya kemarin mengecek di Malang, memang belum ke beberapa yang lain itu. Kami ketemu siswa, ketemu orang tua, ketemu guru. Semuanya kok maju ya, artinya maju itu bisa ikut untuk program ini, karena mereka senang tempat tidurnya baik, tempat mandi, makan dan sebagainya,” ungkapnya.
Terkait siswa yang mengundurkan diri, ia menduga masalah utamanya bukan fasilitas, melainkan adaptasi sosial di lingkungan asrama.
“Kalau ada yang nggak betah di asrama maka itu butuh yang namanya bimbingan konseling. Ya memang ini kan teman-teman harus tahu ya, karena anak-anak kita ini mungkin adalah anak-anak yang belum terbiasa hidup dengan aturan,” jelasnya.
Ia juga membuka kemungkinan bahwa beberapa siswa terpengaruh oleh narasi negatif dari lingkungan luar. “Bisa jadi dia kenak kompor-kompor, dia terprovokasi yang nggak positif, ketakutan,” tambah Untari.
Untuk itu, ia menekankan perlunya pendekatan psikososial secara langsung, termasuk keterlibatan RT/RW di wilayah tempat tinggal siswa.
“Jadi harusnya kepala sekolahnya berkomunikasi dengan RT RW setempat untuk diundang ke sekolah, dimintain bantuan. Ini petugas sekolah juga harus ada yang datang, bersama RT RW-nya juga. Sebelumnya harus dikasih tahu dulu, ini loh barang apik,” katanya.
Bagi siswa yang baru mundur, Untari menyarankan agar dilakukan pendekatan ulang. “Ya mungkin mundur baru sehari, nanti akan dilakukan pendekatan lagi,” ujarnya.
Program Sekolah Rakyat sendiri, menurut Untari ditujukan bagi anak-anak dari keluarga dengan kategori miskin ekstrem, masuk dalam desil 1 hingga 5. Program ini dirancang sebagai solusi agar anak-anak tidak kembali ke kehidupan jalanan.
“Coba kalau tidak ada yang perhatikan, mereka kembali di jalanan, awaknya dicat, kemudian mereka ngamen. Sebenarnya kan kasihan juga. Mereka kan tidak ingin ada seperti itu di jalanan, maka disekolahkan,” ucapnya.
Ia menyampaikan bahwa program ini tidak hanya menyasar anak-anak jalanan, tetapi juga anak dari keluarga miskin di rumah-rumah yang terdata. “Yang diambil kan tidak hanya dari yang seperti itu, tapi juga yang di rumahnya masing-masing, cuma yang masuk dalam desil satu dan desil dua sampai lima,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Untari juga mengingatkan pentingnya dukungan masyarakat terhadap langkah pemerintah.
“Kalau ini tidak dilakukan, siapa yang nolong? Jadi kalau pemerintah sekarang sedang melakukan tindakan ini, ya perlu dukungan menurut saya, biar anak-anak ini tidak kembali lagi ke jalan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti potensi munculnya stigma sosial terhadap lulusan Sekolah Rakyat. “Segregasi sosial, misalkan ‘aku lulusan SR’ ih ngapain sih diperhatikan? Orang aku lulusan SD nang ndesoku sing ora enek apan-apane yo aku saiki dadi ngene,” ungkapnya.
“Terkait guru yang mengundurkan diri, itu loh sama dengan kita itu loh beramal. Lek awak dewe ngopeni anak e dewe itu kewajiban, tapi ngopeni anak e uwong yang dibayar kan amal," tuturnya.
Untari memastikan bahwa Komisi E akan terus memantau dan mendalami permasalahan ini, termasuk menjalin komunikasi langsung dengan keluarga siswa yang mundur.
“Masalah siswa yang mundur, kalau saya ajak bicara, parani ke rumah, RT RW-nya, permasalahannya itu apa?” pungkasnya. (zen)