JATIMPOS.CO/SURABAYA - Komisi D DPRD Surabaya menggelar rapat dengar pendapat pada Senin (24/2/2025) yang dipimpin oleh Ketua Komisi D, dr. Akmarawita Kadir. Rapat ini membahas berbagai persoalan terkait tumpang tindih peraturan antara instansi fasilitas kesehatan (faskes) dan rumah sakit (RS), terutama dalam implementasi BPJS Kesehatan.

Turut hadir dalam rapat tersebut Dirut RSUD Soewandhie, RSUD Bakti Dharma Husada, RSUD Eka Chandrarini, BPJS Kesehatan Kota Surabaya, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Kesehatan Indonesia (PKFI), Kepala Dinas Kesehatan Surabaya.

Anggota DPRD, dr. Michael Leksodimulyo, menyoroti aturan 144 penyakit yang menjadi dasar penolakan pasien di RS negeri. Ia mengungkapkan kasus seorang anak dengan demam 38 derajat yang mengalami kejang.

“Pasien anak ini ditolak dua RS negeri dan diarahkan ke puskesmas. Karena khawatir, orang tua pasien membawa anak mereka ke RS swasta dengan biaya hingga Rp 38 juta, bahkan harus menggadaikan motor untuk biaya perawatan," terang Michael.

Menurut dr. Michael, aturan ini bertentangan dengan UU yang menyatakan bahwa semua penyakit harus ditangani, terutama bagi pasien yang sudah masuk UGD. Ia mengusulkan adanya pengawas di UGD atau sistem konsultasi video call bagi dokter jaga untuk memastikan apakah kasus bisa ditanggung BPJS atau tidak.

Dalam rapat tersebut, dr. Michael juga mempertanyakan perbedaan sistem klaim antara RS negeri dan RS swasta. Ia menyoroti bahwa beberapa klaim RS negeri yang tidak sesuai prosedur namun tetap dibayar BPJS, sementara RS swasta sering kali mengalami kesulitan saat mengajukan klaim serupa.

Selain itu, Imam Syafi’i dari Komisi D mengusulkan agar dana BPJS untuk warga Surabaya bisa dikelola mandiri. Dengan jumlah peserta PBI JKN mencapai 1,1 juta jiwa, namun klaim yang dibayarkan hanya Rp 46 miliar.

“Kami usul agar dana tersebut dapat kami kelola sendiri, kami menilai perlu ada pengawasan ketat terhadap alokasi dana BPJS agar lebih bermanfaat bagi seluruh warga," terang Imam.

Rapat juga menyoroti RS swasta besar yang enggan bekerja sama dengan BPJS. Imam menilai hal ini tidak adil, mengingat sistem JKN mengusung semangat gotong-royong. Ia meminta PERSI Surabaya untuk menekan RS swasta agar lebih proaktif dalam melayani pasien BPJS, bukan hanya mengutamakan pasien berbayar.

Juru bicara PKFI, dr. Sugiharto, menyoroti permasalahan redistribusi peserta PBI JKN. Ia mengusulkan agar pasien bisa memilih faskes swasta sebagai FKTP, bukan hanya diarahkan ke puskesmas. Menurutnya, di kota lain sistem ini sudah berjalan, sementara di Surabaya belum diimplementasikan.

Menanggapi berbagai persoalan yang disampaikan, Kepala BPJS Kesahatan Cabang Surabaya Hernina Agustin Arifin menegaskan bahwa peserta PBI JKN memang memiliki hak untuk memilih faskes, tetapi dalam pendaftaran awal mereka ditentukan oleh sistem dan baru bisa pindah setelah tiga bulan.

“Terkait kasus pasien yang ditolak RS negeri, BPJS menegaskan bahwa klaim tetap bisa dibayarkan sejauh resum medisnya jelas. Jika hanya mencantumkan "panas 38 derajat" tanpa indikasi tambahan seperti kejang atau pendarahan, maka klaim kemungkinan besar ditolak," kata Hernina.

Rapat dengar pendapat yang digelar Komisi D DPRD Surabaya menyoroti berbagai permasalahan dalam sistem layanan kesehatan, terutama terkait aturan tumpang tindih antara faskes dan rumah sakit dalam implementasi BPJS Kesehatan. Beberapa poin utama yang menjadi sorotan adalah:

Rapat diakhiri dengan resum rapat sebagai berikut: aturan 144 penyakit dinilai tidak manusiawi karena menyebabkan pasien dalam kondisi darurat ditolak RS negeri. DPRD mengusulkan adanya pengawasan lebih ketat di UGD atau sistem konsultasi dokter jaga untuk memastikan apakah kasus bisa ditanggung BPJS.

Dewan juga menemukan indikasi klaim di RS negeri lebih mudah diterima dibandingkan RS swasta, sehingga perlu ada transparansi dan standar yang lebih adil dalam proses klaim BPJS.

Peserta PBI JKN di Surabaya yang saat ini masih kesulitan dalam memilih faskes swasta sebagai FKTP, sementara di kota lain sudah bisa. DPRD meminta kebijakan ini dievaluasi agar lebih fleksibel dan sesuai aturan nasional.

Rapat ini menjadi momentum penting bagi DPRD Surabaya untuk mengevaluasi kebijakan layanan kesehatan, memastikan pelayanan yang lebih manusiawi, dan menekan ketimpangan antara RS negeri dan swasta dalam menangani pasien BPJS. Komisi D masih akan melanjutkan hearing rapat dengan pihak terkait pada hari kamis minggu ini. (fred).