JATIMPOS.CO/SURABAYA – Presiden RI Prabowo Subianto diminta untuk mengkaji ulang proyek food estate, terutama yang melibatkan alih fungsi kawasan hutan. Pasalnya, langkah tersebut dinilai bisa menjadi ancaman bagi lingkungan dan menimbulkan bencana di masa mendatang.

Hal ini disampaikan oleh Anna Lutfie, tokoh pertanian Jawa Timur, dalam diskusi terbatas di Surabaya, Senin (3/3/2025).

“Terus terang saya sedih dan miris melihat pemanfaatan hutan skala luas untuk lahan pertanian (food estate). Kalau tidak dijalankan dengan baik, proyek itu justru berpotensi menjadi ancaman bencana alam akibat deforestasi dan kerusakan lingkungan,” kata Anna Lutfie.

Menurut Anna Lutfie, banyak lahan untuk proyek food estate tadinya merupakan hutan primer atau sekunder yang kaya biodiversitas. Akibat alih fungsi lahan, bisa menjadi ancaman hilangnya keanekaragaman hayati dan beberapa spesies endemik – seperti jenis burung tertentu bisa kehilangan habitatnya.

“Sebaiknya hentikan saja (food estate) yang alokasi lahannya berasal dari areal hutan. Sebab hal itu bisa menjadi ancaman bencana. Alih fungsi hutan juga berpotensi melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer. Juga bisa mengakibatkan gangguan ekosistem air yang bisa menyebabkan banjir – atau bahkan bencana kekeringan,” kata Lutfie.

Lantas bagaimana sebaiknya menjalankan proyek food estate? Anna Lutfie mengaku sejak awal sudah banyak memberikan masukan, yakni pentingnya menekankan aspek “Ramah lingkungan” pada proyek food estate.

“Caranya fokus pada optimalisasi lahan eksisting, atau pun menambah lahan baru – tapi tidak yang berasal dari penebangan hutan. Dengan syarat semua polanya harus diubah. Harus ada perspektif baru,” tegasnya.

Lutfie mengaku, pihaknya telah menerapkan sistem pertanian moderen dengan mengkosolidasikan sejumlah areal lahan milik warga dalam satu manajemen produksi.

“Saya tidak hanya omon-omon. Saya sudah menerapkan. Dengan dukungan teknologi yang memadai, pengolahan lahan yang tepat, varietas, pupuk dan irigasi yang tepat, hasilnya di atas rata – rata produksi pada umumnya. Tidak hanya pada tanaman pangan. Hasil perkebunan juga bagus, terutama tanaman durian,” kata Lutfie.

Konsolidasi lahan pertanian, kata Lutfie, bisa menjadi solusi bagi progam ketahanan pangan tanpa merusak lingkungan. Mekanismenya, dikelola secara bersama dalam satu manajemen produksi yang hasilnya dibagikan secara proporsional sesuai sharing luasan lahan pada integrasi kawasan pertanian tersebut. Tentu dengan dukungan modal dan teknologi yang memadai.

Melalui integrasi dan pengelolaan lahan skala luas secara bersama, kata Lutfie, terbukti lebih produktif dan lebih memberi nilai tambah kepada petani pemilik lahan. Mereka lebih diuntungkan karena didukung oleh sistem pertanian moderen.

“Dulu ketika masih sendiri – sendiri, justru semangatnya tidak sebergairah sekarang. Dulu mereka hanya menunggu tanaman padi saja. Sekarang semua tanaman dilakukan. Harusnya pola seperti ini yang dikembangkan pemerintah. Intensifikasi harus dikedepankan sebelum melakukan ekstensifikasi lahan ke ruang hutan,” ujarnya.

Lutfie juga menyoroti kebijakan pemerintah terkait pengetatan anggaran – yang diberlakukan secara menyeluruh.

“Harusnya sektor – sektor tertentu, khususnya pertanian justru ditambah anggarannya, bukan dikurangi. Bahkan seharusnya anggaran pertanian ditetapkan melalui UU minimal 20% seperti pada sektor pendidikan. Kita ini masih butuh investasi teknologi pertanian, butuh benih unggul, butuh pupuk subsidi dalam skala besar, dan saluran irigasi di segala penjuru lahan pertanian. Ini yang seharusnya dipikirkan,” tambah Lutfie.

Secara umum, kata Lutfie, konsolidasi lahan publik dalam sektor pertanian sejatinya adalah peluang untuk penataan kembali lahan-lahan pertanian agar diperoleh produktivitas yang tinggi, pengelolaan yang efisiensi, sehingga hasil dari pemilik lahan bisa optimal.

“Dengan lahan yang lebih luas setelah integrasi, memungkinkan penggunaan teknologi dan metode tahapan tanaman lebih efisien, akses jalan, irigasi, dan distribusi hasil panen juga berjalan secara terintegrasi,” pungkasnya.

Menurut Anna Lutfie, pola konsolidasi ini akan lebih kuat lagi jika diperkuat oleh dukungan pemerintah – terutama dalam aspek permodalan, serta kebijakan yang kuat.

“Meski sektor pertanian hanya menyumbang 12% terhadap PDB, tapi sektor ini berkontribusi 32% terhadap serapan kerja. Dan yang terpenting, jka pertanian kuat, maka kita bisa memutus ketergantungan impor dan mencapai kedaulatan pangan,” jelas Lutfie. (*)