JATIMPOS.CO/BONDOWOSO. Sebuah karya monumental tentang sejarah panjang Bondowoso diperkenalkan melalui soft launching buku pra rilis berjudul Bandawasa Negeri Taman Bumi. Acara tersebut digelar di Kelurahan Sekarputih, Kecamatan Tegalampel, Bondowoso, Minggu (31/8/2024), dan dihadiri oleh ketua dewan kebudayaan, pegiat literasi, sesepuh keturunan Ki Ronggo, serta pemuda pemerhati sejarah dan buku.
Buku ini menjadi penanda penting upaya melacak jejak peradaban Bondowoso dari masa ke masa.
Penulis naskah, Lutfi Khoiron, menegaskan bahwa Bondowoso bukan sekadar wilayah administratif, melainkan episentrum sejarah yang berulang kali menjadi pusat kebudayaan dan spiritualitas di Nusantara.
" Bondowoso ini ibarat papan tulis, ditulis, dihapus, lalu ditulis kembali. Dari era klasik, kolonial, hingga kemerdekaan, wilayah ini tetap menyimpan catatan besar sejarah bangsa," ujar Lutfi.
Dalam catatannya, Bondowoso telah dikenal sejak masa primordial. Pada 1948, seorang peneliti Inggris menuliskan hasil risetnya bahwa Gunung Argopuro merupakan pusat spiritual sejak era kapitayan. Bahkan, catatan lokal menyebut Sunan Giri dan Arya Wiraraja memiliki keterkaitan dengan tanah Bondowoso.
Letusan Gunung Raung pada 1586 yang meledak dahsyat, serta bencana besar 11 Maret 1767 yang meluluhlantakkan Bondowoso dan menelan korban hingga 80 ribu jiwa, menjadi bukti bagaimana kawasan ini mengalami peristiwa besar dalam perjalanan sejarah. Pada era itu, penduduk banyak mengungsi ke Meru Betiri dan wilayah timur Sumenep.
Tak hanya itu, Bondowoso juga pernah dikenal dengan berbagai nama, seperti Telaga Warung, Sentong, dan Pengambangan. Legenda lokal menyebut bahwa Patih Gajah Mada meletakkan “paku emas” pertama kali di tanah ini sebagai simbol kejayaan Nusantara.
Bahkan, migrasi penduduk Bondowoso ke Bali di abad ke-13 dipercaya menjadi cikal-bakal masyarakat Bali Aga.
Sejarah juga mencatat pada tahun 1771, Bondowoso diwajibkan menyetor 200 ton beras kepada VOC sebagai bentuk upeti. Fakta ini menunjukkan bahwa kawasan Bondowoso memiliki posisi strategis baik secara ekonomi maupun politik pada masanya.
Sinung Sudrajad, penutur utama kisah dalam buku ini, menyampaikan bahwa Bondowoso memiliki makna penting bukan hanya bagi Nusantara, tetapi juga dalam lingkup internasional.
" Bangsa Estonia pernah menyebut, cara menghancurkan bangsa adalah dengan memutus mata rantai leluhur dan generasinya. Buku ini hadir untuk menyambungkan kembali rantai sejarah kita," ungkapnya.
Menurut Sinung, Bondowoso telah ditetapkan sebagai pusat kota megalitikum di tapal kuda Jawa Timur, sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki daerah sekitar.
Tradisi seni dan budaya masyarakat Bondowoso, seperti seni pojien, merupakan warisan dari budaya megalitikum yang masih bertahan hingga kini.
Buku ini juga mengulas perjalanan Bondowoso dari megalitikum sampai 1840, masuknya Islam, kolonial Belanda, hingga kemerdekaan. Bahkan, Bondowoso pernah menjadi pusat keresidenan Besuki karena posisinya yang strategis di tengah wilayah.
Sejarah mencatat bahwa setiap peristiwa besar di Bondowoso selalu memiliki kaitan dengan dinamika nasional.
Di Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca, Bondowoso tercatat dalam pupuh ke-17 sebagai tempat singgah ekspedisi Majapahit ke Bali. Bahkan, resi dari India disebut-sebut pernah melakukan semedi di kawasan pegunungan Bondowoso, menjadikannya sebagai pusat spiritual kosmologi Jawa.
Sejarah memang berulang. Jika dahulu Bondowoso dikenal sebagai “Taman Jawa”, kini ia masuk dalam jajaran Geopark dunia dengan sebutan taman bumi. Identitas ini semakin meneguhkan peran Bondowoso sebagai pusat peradaban dan spiritualitas dari masa ke masa.
Melalui buku Bandawasa Negeri Taman Bumi, para penyusunnya berharap masyarakat Bondowoso lebih mengenal identitas dan jati diri daerahnya.
" Kita kaya raya, tapi sempat kehilangan jati diri. Buku ini adalah upaya untuk mengingatkan kembali siapa kita," pungkasnya.(Eko)