JATIMPOS.CO/SURABAYA — Polemik pajak reklame yang membelit pengusaha SPBU di Surabaya kian menghangat. Komisi B DPRD Surabaya bersama jajaran Pemkot melakukan konsultasi ke BPK RI Perwakilan Jawa Timur, Surabaya, Rabu (10/9/2025).
Langkah ini ditempuh setelah para pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) menyatakan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPD-KB) senilai Rp26 miliar.
Para pengusaha SPBU mengaku telah melunasi pajak reklame periode 2019–2023 berdasarkan Surat Keterangan Pajak Daerah (SKPD) yang diterbitkan Bapenda Surabaya. Namun pada akhir 2023 mereka menerima tagihan tambahan dengan nilai besar. Kenaikan ini disebut muncul akibat perubahan cara perhitungan objek pajak reklame yang dinilai tidak disosialisasikan, sehingga ditolak para pengusaha.
Sebelum ke BPK, Komisi B menggelar dua kali hearing dan menghadirkan tiga pakar hukum. Dari forum itu mengemuka bahwa terbitnya SKPD-KB berawal dari temuan/audit BPK yang menyebut terdapat objek reklame yang belum terbayar. Para pakar merekomendasikan DPRD dan Pemkot berkonsultasi ke BPK sebelum mengambil langkah lanjutan.
Dalam pertemuan di kantor BPK, hadir Ketua Komisi B Mohammad Faridz Afif bersama anggota, sementara dari Pemkot diwakili Kepala Bapenda Ahmad Basari, Inspektorat Ikhsan, serta Kepala BPKAD Wiwiek Widayati. Wakil Ketua Komisi B Moch Machmud menyampaikan, konsultasi ini menegaskan bahwa keputusan BPK memang final, tetapi masih terbuka ruang bagi pengusaha SPBU untuk mengajukan surat keberatan ke Pemkot Surabaya.
Machmud menjelaskan, sengketa utama terletak pada listplang SPBU yang dinilai sebagai objek reklame.
“BPK tetap berpegang pada perda dan perwali, tapi ada ruang keberatan. Luasannya mungkin bisa dikurangi, dari empat sisi menjadi satu sisi depan saja,” katanya.
Ia menambahkan, pengusaha SPBU berpendapat listplang berwarna merah putih itu lebih merepresentasikan bendera nasional ketimbang iklan produk Pertamina.
Selain soal luasan, polemik juga menyangkut dasar perhitungan kurang bayar. Menurut BPK, tagihan dihitung prospektif sejak temuan 2023 (berlaku 2024–2025) dengan estimasi kewajiban sekitar Rp1,6 miliar. Menurut Pemkot, perhitungan dilakukan mundur hingga 2019, sehingga total menjadi Rp26 miliar.
“Ada selisih Rp 24,4 miliar antara perhitungan BPK dan pemkot. Dan menurut aturan, SKPD-KB tidak bisa berlaku surut,” tegas Machmud.
Pakar hukum Universitas Wisnuwardhana, Dr Himawan Estu Bagiyo, menilai langkah Bapenda kurang tepat secara administratif. Menurutnya, sebelum menerbitkan SKPD-KB, Pemkot semestinya berkonsultasi dengan DPRD sebagai pembentuk perda, sekaligus berdialog dengan para wajib pajak agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Kalau pajak sudah dibayar, lalu tiba-tiba muncul kurang bayar tanpa sosialisasi, itu menghilangkan kepastian hukum dan berpotensi melanggar prinsip negara hukum,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya prinsip demokrasi, di mana subjek pajak harus diajak bicara sebelum ada beban tambahan. Selain itu, kebijakan pajak juga seharusnya menjunjung asas efisiensi agar tidak menimbulkan kerugian besar di satu sisi.
Polemik kini berada di tangan Pemkot Surabaya yang harus menindaklanjuti keberatan para pengusaha SPBU. DPRD menyatakan akan mengawal proses agar perhitungan luasan dan nilai kurang bayar lebih adil serta sesuai ketentuan. (fred)