JATIMPOS.CO/SURABAYA – Perbedaan data stunting antara Pemerintah Kota Surabaya dan Badan Pusat Statistik (BPS) kembali menjadi sorotan. Wakil Ketua DPRD Surabaya, Arif Fathoni, menilai minimnya keterbukaan data menjadi penghambat serius dalam menyelesaikan masalah strategis seperti kemiskinan dan stunting.
Menurut Arif Fathoni, permasalahan utama dalam sistem pemerintahan saat ini adalah ego sektoral antarinstansi, termasuk dalam hal keterbukaan data. Ia menyoroti sulitnya pemerintah daerah mendapatkan data BPS secara lengkap.
“Problem utama sistem pemerintahan kita adalah masih adanya ego sektoral antar institusi pemerintahan. Termasuk salah satunya adalah data dari BPS yang tidak pernah diberikan secara gamblang kepada pemerintah daerah,” ungkap politisi yang akrab disapa Toni tersebut, Sabtu (10/5/2025).
Toni menjelaskan bahwa data BPS merupakan data primer yang seharusnya menjadi dasar dalam merancang kebijakan pembangunan, baik pada tingkat pusat maupun daerah, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Data BPS itu adalah data primer. Jika pemerintah kota tidak memiliki akses penuh terhadapnya, maka berbagai program pembangunan akan sulit dievaluasi secara objektif dan tepat sasaran,” lanjutnya.
Ia mencontohkan dalam kasus stunting, data yang dimiliki Pemkot Surabaya kerap berbeda dengan hasil survei BPS. Hal ini menurutnya sangat menghambat langkah konkret dalam menangani permasalahan gizi kronis yang memengaruhi perkembangan anak tersebut.
“Kalau data utamanya tidak sinkron, maka pasti penanganannya berbeda pula. Pemerintah kota bisa jadi mengklaim satu capaian, tapi BPS mengungkap hal yang berbeda. Ini tentu menimbulkan kebingungan publik,” tegasnya.
Sejalan dengan Toni, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dalam Munas VII Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) 2025 juga menyatakan pentingnya integrasi data antara pemerintah kota dan pusat, terutama dalam menangani masalah kemiskinan dan stunting.
“Kalau data kami berbeda dengan BPS, bagaimana kami bisa melakukan intervensi secara tepat? Sekarang alhamdulillah sudah ada pembicaraan antara Kemendagri dan BPS agar data bisa diberikan by name by address,” ujar Eri.
Eri menilai, sistem data terintegrasi akan membuat intervensi langsung ke keluarga miskin atau anak-anak yang terindikasi stunting lebih cepat dan akurat. Dengan data yang lengkap, pemerintah kota tidak hanya menunggu instruksi pusat tetapi dapat bertindak secara proaktif.
Baik Toni maupun Eri sepakat bahwa koordinasi antarinstansi harus diperkuat. Toni mengingatkan bahwa semua pihak perlu mengesampingkan ego sektoral demi mencapai kesejahteraan rakyat.
“Karena tujuan kita sama: mengabdi kepada bangsa dan negara demi kesejahteraan rakyat. Maka sudah saatnya semua pihak duduk bersama, terbuka, dan berbagi data demi kepentingan masyarakat,” pungkasnya.
Perbedaan data antara BPS dan pemerintah daerah, seperti yang terjadi di Surabaya, mencerminkan lemahnya koordinasi dan masih kuatnya ego sektoral dalam birokrasi. Ke depan, DPRD Surabaya berharap pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dapat mendorong lahirnya sistem satu data yang transparan, komprehensif, dan mudah diakses hingga tingkat daerah.
“Sebab, tanpa data yang akurat dan terbuka, mustahil pembangunan bisa tepat sasaran. saatnya semua pihak meninggalkan ego sektoral dan bersatu dalam satu visi: mewujudkan kesejahteraan nyata bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelas Toni(fred)