JATIMPOS.CO/SURABAYA - Komisi D DPRD Surabaya menggelar rapat lanjutan membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemajuan Kebudayaan dan Pembinaan Nilai-Nilai Kepahlawanan pada Senin (17/3/2025).
Rapat yang dipimpin oleh dr. Zuhrotul Mar’ah ini turut dihadiri oleh berbagai komunitas budaya, seperti Komunitas Begandring dan Puri Rajapatni, serta Camat Genteng dan Camat Krembangan.
Dalam rapat tersebut, dr. Zuhrotul Mar’ah menekankan pentingnya memperkuat identitas Surabaya sebagai Kota Pahlawan, yang tidak hanya dikenal sebagai pusat bisnis dan metropolitan, tetapi juga memiliki nilai-nilai kepahlawanan dan kekayaan seni budaya.
“Surabaya bukan hanya kota bisnis dan metropolitan, tetapi juga memiliki nilai-nilai kepahlawanan dan kejuangan yang harus terus diwariskan,” ujarnya.
Ia menyoroti perlunya ekosistem budaya yang berkelanjutan melalui event tahunan dan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk dunia pendidikan dan komunitas seni.
Menurut Zuhrotul, Surabaya dapat belajar dari Yogyakarta dan Bali dalam mengembangkan dan melestarikan kebudayaan.
“Jogja memiliki gedung-gedung bersejarah yang tetap nyaman untuk dikunjungi dan bisa dijadikan tempat belajar. Harapannya, Surabaya juga bisa menghidupkan kembali bangunan bersejarah serta memperkenalkan kesenian lokal seperti tari remo kepada masyarakat,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa modifikasi kebudayaan harus tetap memperhatikan nilai-nilai asli, seperti tari remo yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman namun tetap mempertahankan esensinya.
Ketua Puri Aksara Rajapatni, Nanang Purwono, dalam pandangannya menyoroti pentingnya membedakan antara nilai kejuangan dan kepahlawanan.
“Pahlawan adalah mereka yang telah berjuang, sedangkan kejuangan adalah proses yang melahirkan kepahlawanan itu sendiri,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa pemajuan budaya harus mencakup pelestarian bahasa dan aksara, terutama aksara Jawa yang mulai tergerus zaman. Nanang juga menyoroti bahwa di berbagai situs bersejarah di Surabaya, seperti kompleks Sunan Ampel dan makam para bupati, masih banyak ditemukan inskripsi dalam aksara Jawa yang belum banyak dipahami oleh generasi muda. Oleh karena itu, perlu ada program edukasi dan pelestarian aksara Jawa agar tetap dikenal dan digunakan oleh masyarakat.
Sementara itu, Camat Genteng, Muhammad Aries Hilmi, mengusulkan agar raperda ini mempertimbangkan model pendampingan berkelanjutan seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam program Desa Wisata.
“Pendampingan selama 5 tahun dapat memberikan kesinambungan bagi komunitas budaya dan sejarah, sekaligus memotivasi mereka untuk terus berkontribusi,” paparnya.
Ia mencontohkan bagaimana Kampung Peneleh di Surabaya berhasil mendapatkan dukungan dari Bank Indonesia untuk pengembangan wisata sejarah. Dengan adanya pendampingan yang lebih panjang, diharapkan komunitas lokal memiliki kesempatan untuk berkembang secara mandiri dan menciptakan ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan.
Dukungan terhadap konsep pemajuan kebudayaan juga disampaikan oleh anggota Komisi D, Imam Syafii. Ia menegaskan bahwa raperda ini tidak sekadar melestarikan budaya, tetapi harus mampu mendorong perubahan yang lebih baik.
“Pemajuan berarti ada gerak dan aksi nyata. Contohnya, di Banyuwangi setiap akhir pekan ada pentas budaya di alun-alun yang didukung pemerintah daerah, sehingga seniman mendapat ruang berekspresi sekaligus pemasukan,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa tanpa intervensi anggaran yang jelas dari pemerintah, pemajuan kebudayaan akan sulit diwujudkan secara optimal.
Dengan berbagai masukan yang muncul dalam rapat, Raperda Pemajuan Kebudayaan dan Pembinaan Nilai-Nilai Kepahlawanan ini dapat menjadi dasar bagi pengembangan ekosistem budaya yang lebih maju dan inklusif di Surabaya.
Komisi D juga akan mengkaji lebih lanjut berbagai usulan yang disampaikan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar dapat diimplementasikan dengan baik dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Surabaya. (fred)