JATIMPOS.CO/SURABAYA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya menggelar rapat paripurna dengan agenda pidato perdana Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi untuk periode 2025-2030. Dalam pidatonya, Eri menyampaikan arah pembangunan kota lima tahun ke depan dengan menekankan pentingnya inovasi, kolaborasi, dan konsep aglomerasi sebagai strategi utama.
Rapat yang berlangsung pada Senin (3/3/2025) ini dipimpin oleh Ketua DPRD Surabaya, Adi Sutarwijono, didampingi tiga unsur pimpinan lainnya, yakni Bahtiyar Rifai (Fraksi Gerindra), Laila Mufidah (Fraksi PKB), dan Arif Fathoni (Fraksi Golkar).
Acara ini turut dihadiri oleh tiga bupati dari wilayah penyangga Surabaya, yaitu Bupati Gresik, Bupati Sidoarjo, dan Bupati Bangkalan, serta jajaran Forkopimda Surabaya, anggota DPRD periode 2024-2029, dan tamu undangan lainnya.
Menurut Adi Sutarwijono, kehadiran tiga bupati dari daerah penyangga merupakan wujud semangat kerja sama lintas wilayah dalam menangani berbagai persoalan perkotaan, seperti kemacetan dan banjir.
“Itu kan butuh penanganan yang lebih intensif antar berbagai daerah juga. Kemudian kerjasama ekonomi tadi sudah disampaikan, kerjasama perdagangan dan sebagainya itu,” ucapnya kepada awak media seusai acara berlangsung.
Adi mengatakan bahwa hal ini adalah semangat yang ditunjukkan di awal tahun masa jabatan oleh Wali Kota Surabaya dengan merangkul semua komponen yang kemudian mengajak kerjasama bergotong royong membangun Kota Surabaya
“Ini mengatasi sebagian masalah sehari-hari yang kita hadapi bersama. Utamanya persoalan banjir. Karena jika ditangani maka itu akan mendorong masyarakat bisa lebih nyaman,” jelasnya.
Dengan demikian, kata Awi, masyarakat bisa mulai meningkatkan akfititasnya, karena selama ini terhalang akibat banjir.
“Masyarakat bisa mulai jualan dan sebagainya karena selama ini terhalang banjir. Kemudian keluhan-keluhan itu harus diatasi, pembuatan saluran dan sebagainya,” pungkasnya.
Sementara Wali Kota Eri Cahyadi dalam pidatonya menekankan pentingnya inovasi dan skala prioritas dalam pembangunan kota. Menurutnya, Pemerintah Kota tidak bisa bekerja sendiri, melainkan harus berkolaborasi dengan daerah sekitar seperti Gresik, Bangkalan, dan Sidoarjo.
Konsep aglomerasi menjadi kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan ketahanan pangan.
“Kita harus membangun berbasis warga, bukan sekadar administratif. Dengan kerja sama antardaerah, sektor UMKM bisa berkembang dengan memasok kebutuhan hotel dan restoran di Surabaya. Dari sinilah koperasi ketahanan pangan harus dibentuk,” ujar Eri.
Ia juga menyoroti pentingnya mencegah urbanisasi yang berlebihan ke Surabaya dengan membangun kota-kota penunjang yang sejahtera. Ia bahkan berencana menandatangani MoU dengan bupati sekitar untuk memastikan kebutuhan pangan Surabaya dapat dipenuhi dari daerah-daerah tetangga.
Melalui konsep aglomerasi dan gotong royong, diharapkan Surabaya dan wilayah sekitarnya dapat menghadapi tantangan ekonomi dan sosial ke depannya. Dengan semangat kolaborasi ini, Surabaya tidak lagi sekadar menjadi kota megapolitan yang berdiri sendiri, tetapi pusat pergerakan ekonomi yang menghidupkan daerah sekitarnya. Jika batas wilayah tak lagi menjadi sekat, maka kesejahteraan bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan yang tumbuh bersama. Inilah langkah awal menuju Surabaya yang lebih maju, inklusif, dan berdaya. (fred)