JATIMPOS.CO/KOTA MADIUN – Pengelolaan sampah dan tata kelola sungai masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2024 mencatat, timbulan sampah nasional mencapai lebih dari 18 juta ton per tahun, dengan 30 persen di antaranya belum terkelola dengan baik. Di saat yang sama, banyak daerah masih bergantung pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) konvensional yang kerap memicu masalah lingkungan.
Kondisi itulah yang menjadi latar pertemuan Wali Kota Madiun, Dr. Maidi, dengan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSB Solo) dan Tim Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Pertemuan di TPA Winongo, Selasa (9/9/2025), menjadi momentum penting untuk memastikan arah pembangunan kota tidak mengorbankan kelestarian alam.
“Ke depan, program ini tidak boleh merusak aliran Bengawan. Kalau ada kerusakan, segera diajukan, dan akan kita perbaiki bila diperlukan,” ujar Maidi.
Pernyataan itu menegaskan dilema klasik pembangunan: antara kebutuhan infrastruktur dan risiko degradasi lingkungan. Bengawan Solo sendiri merupakan sungai terpanjang di Jawa, dengan panjang 600 kilometer lebih. Kerusakan di hulu maupun hilir berpotensi berdampak luas pada kualitas air, banjir, hingga ekosistem masyarakat pesisir.
Sebagai simbol kepedulian, audiensi ditutup dengan penanaman pohon di sekitar TPA. Namun lebih dari itu, agenda kedua bersama ITS menunjukkan arah baru: pengelolaan sampah dengan pendekatan teknologi.
ITS menghadirkan profesor dan tim akademisi untuk melatih kelompok masyarakat (Pokmas) di setiap kelurahan, khususnya terkait penggunaan mesin pengolah sampah rumah tangga. Rencananya, program ini akan digelar di Kantor Bapenda Kota Madiun, Rabu (10/9/2025).

Targetnya cukup ambisius. “Bersama ITS, saya minta tolong di akhir tahun 2027 kita bisa kerja keras menuju target zero sampah. Ini butuh kolaborasi seluruh masyarakat,” tegas Maidi.
Pendekatan kolaboratif ini sejalan dengan tren tata kelola lingkungan di berbagai kota dunia, di mana pemerintah daerah menggandeng akademisi dan komunitas untuk mencari solusi bersama. Di Kota Madiun, jika strategi ini berjalan konsisten, maka bukan hanya volume sampah yang berkurang, tetapi juga lahir generasi masyarakat kota yang lebih sadar lingkungan.
Madiun bisa menjadi contoh bahwa pengelolaan sampah bukan sekadar urusan teknis, melainkan bagian dari politik kota berkelanjutan—di mana infrastruktur, lingkungan, dan SDM disatukan dalam visi jangka panjang. (Adv/jum).