JATIMPOS.CO/MOJOKERTO – Pabrik Gula (PG) Gempolkrep menghadapi tantangan serius dalam distribusi hasil produksinya. General Manager PG Gempolkrep, Edy Purnomo, S.T.P, mengungkapkan bahwa hingga saat ini ribuan ton gula belum terserap pasar dan masih menumpuk di gudang pabrik.
“Sejak empat kali periode giling, kami sudah menghasilkan sekitar 7.500 hingga 8.000 ton gula. Kapasitas harian produksi mencapai 450 sampai 500 ton. Karena sekarang puncak musim giling, stok otomatis terus meningkat jika penjualan tersendat,” ujar Edy, Kamis (18/9/2025).
Menurut Edy, lemahnya daya serap pasar menjadi faktor utama. Kondisi ini membuat distribusi gula ke masyarakat berjalan lambat, sehingga tidak hanya merugikan petani tetapi juga berimbas pada operasional pabrik.
“Kalau gula tidak segera terjual, maka beban biaya operasional akan semakin berat. Mulai dari ongkos transportasi, upah sopir, hingga kebutuhan pendanaan lain. Kalau tidak lancar, kinerja pabrik bisa terganggu,” jelasnya.
Saat ini, harga dasar lelang gula dipatok Rp14.500 per kilogram. Namun, permintaan pasar masih minim. Untuk itu, PG Gempolkrep telah melakukan koordinasi dengan pembeli, distributor, hingga kementerian terkait, guna mencari solusi agar gula hasil produksi cepat terserap.
Edy menekankan pentingnya dukungan pemerintah agar persoalan ini segera diatasi. “Nilai produksi gula nasional mencapai triliunan rupiah. Jika penjualan terhambat, dampaknya besar sekali, bukan hanya bagi petani, tetapi juga terhadap roda perekonomian,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Mojokerto, Mubin, menyoroti persoalan lain yang menghantui petani. Menurutnya, beban terberat justru datang dari kewajiban pinjaman di perbankan yang harus dilunasi tepat waktu, tanpa ada kebijakan kelonggaran.
“Kalau penjualan gula tidak lancar, petani harus berpikir keras supaya cicilan bisa dibayar. Kalau telat, finalti dari bank memberatkan,” kata Mubin.
Ia juga menyebut biaya produksi yang tinggi semakin menekan petani. Untuk satu hektar lahan tebu, dibutuhkan modal sekitar Rp25 juta hingga Rp30 juta, mencakup ongkos tenaga kerja hingga angkut hasil panen.
Meski demikian, produktivitas petani Mojokerto dinilai cukup baik dengan rendemen rata-rata 7–8 persen. Sayangnya, pasar gula rakyat terganggu oleh maraknya gula rafinasi yang beredar bebas. Padahal, seharusnya gula rafinasi hanya digunakan industri makanan dan minuman, bukan masuk ke pasar umum. “Akibatnya, gula petani sulit terserap,” ujarnya.
Mubin berharap pemerintah memberi perhatian serius, khususnya pada tiga aspek penting: penyediaan varietas unggul, kepastian ketersediaan pupuk sesuai kebutuhan lahan, serta regulasi kredit yang lebih berpihak kepada petani tebu.
“Kalau tiga hal itu terpenuhi, kami yakin produksi petani bisa meningkat dan daya saing tetap terjaga. Aspirasi sudah kami sampaikan ke kementerian, semoga segera ada langkah nyata,” pungkasnya. (din).