JATIMPOS.CO/KOTA MADIUN - Bertepatan dengan peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2024, Kejaksaan Negeri Kota Madiun menetapkan tiga tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait penyalahgunaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) atau fasilitas umum (Fasum) pada Perumahan Puri Asri Lestari (PAL) Kota Madiun.

Salah satu dari ketiga tersangka itu adalah mantan Kepala Kantor ATR/BPN Kota Madiun berinisial SDM. Sedangkan dua tersangka lainnya berinisial HS dan TI selaku pengembang perumahan. HS merupakan Direktur PT Puri Larasati Propertindo (PLP) dan TI adalah Manager Operasional PT PLP.

Kepala Kejaksaan Negeri Kota Madiun, Dede Sutisna menjelaskan, berdasarkan hasil audit Kerugian Negara yang dilakukan oleh Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jawa Timur terungkap bahwa oknum ATR/BPN Kota Madiun dan pengembang PT PLP tersebut terlibat dalam tindakan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2,4 miliar.

Kerugian negara itu, meliputi aset berupa ruang terbuka hijau (RTH) yang seharusnya menjadi hak negara, namun dialihkan untuk kepentingan komersial, sehingga merugikan Pemkot Madiun. Sedangkan modus operandi para tersangka ini dengan memanipulasi izin yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

"Kasus ini bermula dari adanya laporan pengaduan masyarakat terkait adanya dugaan mafia tanah dengan menyalahgunakan tanah-tanah yang seharusnya menjadi PSU atau Fasum yang sudah ditetapkan oleh Pemkot Madiun kemudian dikomersilkan untuk memperoleh keuntungan pengembang," jelas Dede Sutisna, Senin (9/12/2024).

Lebih lanjut dia katakan, kasus ini berawal dari pihak pengembang PT PLP mengajukan permohonan pengembangan perumahan di Jl Pilang AMD, Kelurahan Kanigoro, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, dengan siteplan awal yang diajukan oleh pihak pengembang yakni untuk membangun 38 unit rumah, berdasarkan penggabungan dua sertifikat tanah menjadi satu Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas pengajuan permohonan pihak pengembang tersebut.

Namun, pihak Pemkot Madiun menetapkan hanya 35 unit rumah yang diperbolehkan untuk dibangun sesuai dalam SKRK atau advice planning (siteplan) yang dikeluarkan oleh Pemkot Madiun.

Namun pihak pengembang dalam mengajukan permohonan pemecahan sertipikat tanah di Kantor BPN Kota Madiun dan mengajukan permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pengembang telah memanipulasi data dokumen perizinan yakni dengan sengaja tetap menggunakan site plan versi pengembang yakni untuk 38 unit rumah.

Sedangkan Kantor BPN Kota Madiun menyetujui permohonan dari pengembang untuk menerbitkan 38 SHGB tersebut.
Padahal dalam ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2010 mensyaratkan dalam permohonan oleh Badan Hukum
untuk menerbitkan pemecahan SHGB adalah rencana tapak atau siteplan yang ditetapkan oleh pemerintah.

"Kemudian Kantor DPMPTSP Kota Madiun juga menyetujui pengajuan IMB tersebut tanpa mendasari rekomendasi resmi dari Pemkot Madiun," ungkapnya.

Sebelumnya, pihak pengembang juga telah berusaha menyerahkan Fasum beberapa kali pada tahun 2016-2021. Namun tidak diterima Pemkot Madiun karena tidak sesuai dengan advice planning yang ditetapkan oleh Pemkot Madiun yang mengharuskan pengembang menyediakan RTH.

"Pihak pengembang telah membangun 3 unit rumah di atas lahan yang seharusnya dialokasikan untuk RTH sehingga menyebabkan kekurangan fasilitas untuk masyarakat, pengembang bahkan mengkomersilkan dengan menjual 3 unit
rumah tersebut kepada konsumen dengan total nilai jual mencapai lebih dari Rp 1 miliar," tegasnya.

Pasca penindakan ini, pihak Kejaksaan juga akan menggandeng Pemkot Madiun untuk memperbaiki tata kelola terkait permasalahan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) atau Fasum yang ada di Kota Madiun.

Sementara itu, terhadap para tersangka bakal dijerat dengan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan paling singkat 4 tahun penjara," pungkasnya. (jum).