JATIMPOS.CO/MOJOKERTO - Sistem organisasi advokat menggunakan single bar atau multi bar seolah tak ada habisnya pasca perpecahan organisasi advokat sejak 2010 silam. Meski UU no. 18 tahun 2003 tentang sudah mengamanatkan pembentukan organisasi advokat sebagai wadah tunggal (single bar), namun, praktiknya menimbulkan perpecahan dan konflik berkepanjangan.
Organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sendiri terpecah menjadi tiga kubu. Pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam dan Menkumham telah berusaha menyatukan Organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang terpecah agar menjadi satu, namun upaya pemerintah tersebut belum berhasil alias temui jalan buntu.
“Kita tahu tim sembilan mewakili tiga Peradi yang terpecah untuk membangun pembicaraan upaya rekonsiliasi dan difasilitasi oleh Menkopolhukam dan Menkumham telah sepakat untuk tidak sepakat, artinya tidak ada titik temu untuk melakukan rekonsiliasi yang sesuai harapan,” ujar Moch Gati., SH., CTA salah satu advokat muda dari kantor Sakty Law Surabaya dalam rilisnya, Minggu (24/9/2023).
Menurutnya, pertumbuhan jumlah organisasi advokat (OA) sekarang ini terus bertambah pesat menjadi sekitar 58-an. Maka gagasan menyatukan organisasi profesi advokat jauh panggang dari api. Terkait upaya menyatukan organisasi advokat dalam satu wadah (single bar), Bang Sakty panggilan akrabnya, meminta semua pihak jangan menyalahkan Mahkamah Agung (MA). Apalagi menuduh MA melakukan constitunal disobedience (pembangkangan terhadap konstitusi). Tuduhan itu sangatlah tidak tepat dan tidak mendasar. Bahkan, ia mengajak rekan seprofesi untuk intropeksi diri, mengapa sampai kini tidak bisa bersatu dalam kata sepakat.
“Justru kenapa MA mengeluarkan SEMA Nomor 73 tahun 2015 yang memberikan panduan kepada Ketua-Ketua Pengadilan Tinggi se-Indonesia untuk melaksanakan penyumpahan terhadap calon advokat yang diajukan baik oleh Peradi maupun Organisasi Advokat yang lain, ya karena Peradi sendiri tidak lagi dalam satu wadah,” tegas advokat yang sedang menempuh Program Doktor ini.
Bang Sakty menambahkan, faktanya justru sebaliknya dimana dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa wadah tunggal senyatanya yang bisa memenuhi Undang-Undang Nomor 18 adalah Peradi oleh karena terbentuk dalam waktu 2 tahun sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang tersebut.
Permasalahannya, lanjut Bang Sakty, Peradi telah menjadi tiga, pasca Munas II Makassar, dimana masing-masing mengklaim sebagai Peradi yang sah. “Padahal sampai saat ini belum ada satupun putusan legalitas yang mengatakan salah satunya adalah yang sah,” imbuhnya.
Lebih Jauh pendiri kantor hukum Sakty Law, ini mengungkapkan, hal ini setali tiga uang dengan Kemenkumham juga mengeluarkan ijin terhadap organisasi Advokat (OA) baru yang tumbuh begitu masif, dan apakah hal ini juga bisa dikatakan constitutional disobedience terhadap konstitusi. ”Peristiwa ini apa mungkin dikatakan sebagai constitutional disobedience (pembangkangan terhadap konstitusi),“ kata Bang Sakty dengan nada bertanya.
Dikatakan, kalau sebelumnya mantan Panitera MK, Prof Zainal Arifin Hoesain mengatakan Peradi masih harus berjuang keras untuk memposisikan diri sebagai wadah tunggal. Terlebih setelah sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak digubris Mahkamah Agung (MA), di antaranya terkait wadah tunggal.
Menurut Zainal Arifin Hoesain, ketika diskusi virtual bertajuk Constitutional Disobedience, yang digelar, di Jakarta, menjelaskan perlu perubahan soal perintah atau amar agar MA tunduk melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. “Biar tidak bisa constitutional disobedience (pembangkangan terhadap konstitusi), maka perlu adanya pengaturan constitutional court,” terang Bang Sakty kutip pernyataan Zainal Arifin Hoesain. (din)