JATIMPOS.CO//SURABAYA- Pabrik sagu yang dibangun oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro (LPMAK), kini YPMAK (Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme Kamoro) sejak 2017 lalu, pengelolaannya kini dikembangkan Yayasan Somatua.

Dari hasil uji coba sejak Februari 2023 lalu, rumah sagu yang kini dikelola Yayasan Somatua dengan didukung YPMAK sebagai pengelola dana kemitraan Freeport, telah memproduksi 80 ton tepung sagu dalam kemasan karung dengan berat bersih 50 kilogram.

Proses produksi ini terjadi setelah Yayasan Somatua dan tim kerja melengkapi fasilitas air bersih 'RO System' sehingga kualitas tepung sagu yang dihasilkan lebih bagus dan berdaya saing.

“Ini menunjukkan komitmen nyata dari Yayasan Somatua dalam meningkatkan produktivitas sagu asal Timika yang berdaya saing ke depannya nanti,” ujar Maximus Tipagau, Direktur Yayasan Somatu, Senin (22/5/2023) dalam rilis yang diterima jatimpos.co.

Saat menyerahkan sagu hasil produksi awal secara gratis kepada warga kampung di Distrik Mimika Tengah, Mimika Barat kemarin, Maximus Tipagau menyatakan, ini merupakan satu langkah maju yang ditempuh melalui industri pengolahan sagu yang berlokasi di Kampung Keakwa, Distrik Mimika Tengah, Kabupaten Mimika, Papua Tengah.

Pabrik sagu yang kini dinamai rumah sagu, sejak diresmikan Oktober 2017 lalu oleh Mgr. John Philip Saklil, Pr, Uskup Keuskupan Timika, kini baru dioperasikan setelah melalui proses panjang dan melelahkan.

Tentu, ini tidak terlepas dari dukungan para pihak, diantaranya YPMAK, PT Freeport Indonesia, serta pihak mitra terkait lainnya.

"Dan tidak kalah penting adalah dukungan penuh dari masyarakat di wilayah pesisir Mimika" ungkapnya.

Menurut Maximus yang dijuluki Gladiator Papua, peningkatan strategi pengembangan rumah sagu dengan penerapan teknologi yang efektif dan efisien dengan fokus utama memberdayakan masyarakat lokal pemilik lahan sagu di pesisir Mimika dan sekitarnya.

“Untuk produksi awal tepung sagu ini, kami ambil bahan mentah pohon sagu dari masyarakat di empat kampung di Distrik Mimika Tengah, yaitu Keakwa, Atuka, Miyoko, dan Aikawapuka. Ke depan nanti untuk kelangsungan produksi tepung sagu, pihak pengelola rumah sagu akan membeli bahan mentah utuh batang pohon sagu milik masyarakat dengan harga Rp50 ribu per meter," jelasnya.

Meski terobosan yang dijalankan pihak pengelola rumah sagu masih menghadapi tantangan, tetap diyakini atas dukungan dan kolaborasi apik semua pihak, memastikan keberlanjutan industri rumah sagu di Timika.

Disamping itu, adanya dukungan menggarisbawahi pentingnya infrastruktur dalam pengembangan industri pengolahan sagu.

Pasalnya, sebagian besar pohon sagu berada di wilayah hutan yang masih sulit diakses dengan jalan darat maupun sungai sehingga biaya logistik dan biaya produksi pun masih diperhitungkan.

"Kalau besarnya potensi sagu tidak didukung dengan fasilitas yang memadai, maka sagu akan sulit berdaya saing. Untuk itu, perlu peran serta dan keberpihakan dari semua pemangku kepentingan terkait, termasuk masyarakat. Kerja sama yang solid dan komprehensif dari semua pihak akan membuat sagu mampu menjadi komoditas unggulan domestik maupun ekspor,” terangnya.

Ia pun kembali menegaskan bahwa pengembangan sagu merupakan salah satu program prioritas dalam pengembangan industri berbasis perkebunan untuk memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat.

Hal ini diamanahkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.

Sebagai informasi, Indonesia memiliki potensi hutan sagu terbesar di dunia.

Sebanyak 90% lebih lahan sagu di dunia ada di Indonesia, di mana sebanyak 85% terdapat di Provinsi Papua dan Papua Barat.

“Potensi ini memberikan kesempatan untuk menjadikan Indonesia bagian timur sebagai produsen sagu terbesar di dunia dan juga komponen utama untuk mensejahterakan masyarakat wilayah timur Indonesia,” tuturnya. (zen)