JATIMPOS.CO/SURABAYA - Sebuah peristiwa yang mengusik nurani pecinta sejarah dan budaya terjadi di Surabaya. Sebuah bangunan cagar budaya yang terletak di Jalan Raya Darmo No. 30 ditemukan telah rata dengan tanah. Bangunan yang semestinya dilindungi sebagai bagian dari identitas dan sejarah Kota Pahlawan itu kini hanya tinggal puing. Komisi D DPRD Surabaya, yang membidangi urusan kebudayaan dan kesejahteraan rakyat, segera melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi pada Selasa, (03/06/2025).
Sidak dipimpin oleh Ketua Komisi D, dr. Akmarawita Kadir, bersama beberapa anggota komisi. Mereka menyampaikan keprihatinan atas hilangnya bangunan yang semestinya dilindungi sebagai bagian dari warisan sejarah Kota Surabaya.
Anggota Komisi D, dr. Michael Leksodimulyo, menegaskan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap bangunan cagar budaya.
“Hancur lebur, tempat cagar budaya yang harusnya dilindungi, sekarang hancur lebur. Kami mempertanyakan, apakah pembongkaran ini sudah mengantongi izin dari Pemkot? Kalau belum, ini sangat fatal," ujarnya kepada pers seusai sidak.
Lebih jauh, dr. Michael menyoroti belum adanya mekanisme kompensasi yang jelas bagi pemilik bangunan cagar budaya. Ia mengusulkan agar Pemkot Surabaya meniru sistem di negara-negara lain, di mana bangunan bersejarah dibeli oleh pemerintah atau diberikan insentif tertentu agar tetap terjaga.
“Jangan sampai pemilik bangunan dirugikan karena rumahnya tiba-tiba dicap sebagai cagar budaya, lalu tidak bisa dijual, tidak bisa dimanfaatkan, tanpa ada solusi. Harus ada pendekatan dua arah, bukan pemaksaan,” katanya.
Michael juga mempertanyakan efektivitas hukum perlindungan cagar budaya. Ia menyarankan agar peraturan yang ada ditinjau ulang.
“Kami akan mengkaji kembali peraturan hukumnya. Bila sudah ada, seberapa kuat implementasinya? Jika belum, maka ini adalah momen yang tepat untuk memperbaiki sistem perlindungan sejarah kita,” tegas Michael.
Wakil Ketua Komisi D, Lutfiyah, menambahkan bahwa ini bukan kasus pertama. Ia menyebut kasus serupa pernah terjadi pada bangunan bersejarah lain seperti rumah radio. Lutfiyah menilai lemahnya pengawasan dan komunikasi antar pihak menjadi titik lemah yang harus segera dibenahi.
Komisi D berencana memanggil pihak-pihak terkait, termasuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Tim Ahli Cagar Budaya, dan pemilik bangunan, untuk meminta kejelasan terkait status dan proses pembongkaran tersebut.
Menariknya, kasus ini awalnya terungkap melalui unggahan media sosial warga, bukan laporan resmi. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap pelestarian sejarah cukup tinggi, meski belum diakomodasi dalam sistem pelaporan formal.
Saat ini, DPRD tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kebudayaan. Namun, Raperda tersebut dinilai masih berfokus pada nilai perjuangan dan aksara, belum secara spesifik mengatur perlindungan fisik bangunan cagar budaya. Komisi D menilai kasus Jalan Darmo ini menjadi momentum untuk memperkuat perlindungan tersebut dalam regulasi ke depan.(fred)